TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG DI BLOG "DharmaVirya.Blogspot.com", "Selalu Semangat, Belajar, dan Menjalankan Dhamma", Semoga Blog ini bermanfaat untuk orang banyak,.... JANGAN BOSAN-BOSAN YA,.. DI TUNGGU KEDATANGANNYA KEMBALI :)

DharmaVirya To Android

Untuk memudahkan Sahabat membaca artikel-artikel dan update selalu dari blog DharmaVirya.
kini telah hadir digengamanmu, sebuah aplikasi DharmaVirya diandroid,. 
Sahabat bisa langsung Download GRATISSSSS 

CLIK DOWNLOAD

Minggu, 16 Desember 2012

Sila Itu Logika

Telah menjadi satu anggapan umum bahwa kualitas lebih penting daripada kuantitas, mutu lebih diutamakan daripada jumlah. Ungkapan ini sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Antara mutu dan jumlah mempunyai satu keterikatan yang tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Mengapa demikian? Meskipun jumlah umat Buddha banyak tetapi tidak bermutu, ini tidak akan membawa banyak manfaat dan kemajuan bagi umat Buddha. Begitu juga sebaliknya, walaupun bermutu tetapi orangnya sedikit juga percuma saja. Jadi yang paling baik adalah kuantitas bertambah seiring dengan meningkatnya kualitas.

Di tengah-tengah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama Buddha mulai menampakkan dirinya. Orang mulai menaruh perhatian kepada agama Buddha baik secara diam-diam maupun secara terbuka. Di beberapa Negara Eropa, orang mulai tertarik untuk mempelajari agama Buddha. Kalau kita bertanya: “kenapa anda tertarik pada agama Buddha?” biasanya mereka akan menjawab ”agama Buddha ini masuk akal, tidak memaksa dan tidak selalu harus percaya terhadap segala sesuatu tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu.” Semangat pembuktian, semagat untuk memikirkan dan merenungkan akan keterikatan satu dengan yang lain bahwa segala sesuatu itu pasti ada sebabnya. Sesungguhnya adalah sama dengan cara berpikir ilmiah dan cara kita berpikir dalam kehidupan sehari-hari. Agama Buddha menggunakan jalur ini dalam membuktikan satu asumsi/argumentasi sehingga agama Buddha sering dikatakan sebagai agama yang mirip dengan ilmu pengetahuan. Anggapan ini memang tidak bisa disalahkan karena cara berpikir dan cara pembuktian di dalam agama Buddha memang persis seperti kalau kita membuktikan ilmu pasti. Dalam agama Buddha tidak ada ajaran yang harus langsung diterima begitu saja tanpa boleh dipertanyakan. Misalnya: kenapa kalau sembahyang menggunakan hio, lilin, dan bunga, atau kenapa duduknya di lantai? Ini bukan berarti umat Buddha tidak mampu membeli kursi tetapi semua itu ada alasannya, ada aturan mainnya.

Lalu bagaimana cara kita sebagai umat Buddha membedakan antara agam Buddha dengan ilmu pengetahuan? Memang tidak dapat dipungkiri bahwa cara berpikir agama Buddha yang sama dengan ilmu pengetahuan itu sering menimbulkan satu anggapan bahwa “ilmu pengetahuan sama dengan agama buddha”. Sebagai contoh :

*Menurut ilmu pengetahuan (matematika)
Jika :
A=B
B=C
Maka : A=C

*Kalau: Pernyataan
A : Ilmu pengetahuan perlu dibuktikan Pernyataan
B : Agama Buddha perlu dibuktikan ("ehipasiko")
Berarti kesimpulannya : “ilmu pengetahuan sama dengan agama buddha” Ini adalah satu kesimpulan yang tidak tepat! Bahkan akan menimbulkan kesulitan dikemudian hari. Misalnya kita ditanya: bagaimana terjadinya bumi, itu masih bisa kita jawab; bagaimana terjadinya menanam padi tumbuh padi, itupun masih bisa diterangkan. Tetapi kalau ditanya misalnya: bagaimana rumus matematika yang “ini” bisa betul, kita tidak bisa menjawabnya. Mengapa? Karena memang agama Buddha bukan persis dengan ilmu pengetahuan, hanya cara pendekatannya saja yang sama. Jadi antara ilmu pengetahuan dan agama Buddha itu mempunyai kapling atau bidang sendiri-sendiri.

Kapling ilmu pengetahuan adalah urusan material, urusan otak, urusan pengetahuan kita. Yang diselidiki oleh ilmu pengetahuan misalnya bagaimana cara membuat hidup manusia lebih bahagia atau lebih mudah. Umpamanya bagaimana cara membuat rumah yang bagus dan indah dengan biaya yang yang murah. Atau bagaimana cara me-manajemen perusahaan supaya bisa efisien. Bahkan kalau perlu dilakukan PHK. PHK akan dijalankan walaupun akan muncul korban karenanya. Itu adalah ilmu pengetahuan.

Lain halnya dengan Buddhisme. Buddhisme justru tidak begitu menekankan pada unsur material/duniawi tetapi lebih cenderung pada unsur batin. Umpamanya: karena cuaca panas maka orang menemukan kipas angin, ini adalah bagian dari ilmu pengetahuan. Tetapi bagaimana supaya batin kita tidak stress menghadapi hawa panas yang luar biasa ini, bagaimana menumbuhkan kebahagiaan itu sendiri; ini adalah kapling agama. Jadi ada perbedaan antara ilmu pengetahuan dan agama Buddha. Kasusnya memang sama yaitu kepanasan tetapi kalau kita lihat dari unsur duniawi, itu adalah ilmu pengetahuan; sedangkan kalau dilihat dari unsur batin kita, bagaimana supaya bisa tenang, ini adalah agama.

Contoh yang paling dekat adalah para bhikkhu. Di Negara Buddhis yaitu Thailand, pada saat musim dingin akan berganti musim panas; suhu udara Sangat dingin pada malam hari hingga 10 derajat Celcius. Sebaliknya pada siang hari, suhu udara berkisar sekitar 35 derajat Celcius. Padahal atap kuti-kuti para bhikkhu terbuat dari seng. Tentu saudara bisa membayangkan bagaimana panasnya suhu pada siang hari. Tetapi mengapa di kuti-kuti tidak ada kipas angin dan mengapa para bhikkhu tidak mengalami stress pada waktu itu? Karena sesungguhnya dengan pelajaran agama Buddha ini, kita berusaha untuk menyadari bahwa memang demikianlah kenyataan hidup ini. kita bisa saja berkata: “ wah… panas, ya?” tetapi kalau kita renungkan baik-baik, sesungguhnya hal tersebut tidak ada manfaatnya. Panas yang kita rasakan tidak akan hilang dengan kita berkata seperti itu ataupun dengan kita mengomel-ngomel. Akhirnya kita terbiasa untuk menerima kenyataan hidup ini, tidak gampang stress.

Sering ada orang yang bertanya: “mengapa para bhikkhu bisa tahan untuk tidak memakai kipas angin?” karena panas dan tidak itu sebetulnya tergantung di dalam diri kita, muncul dari dalam diri kita. Kalau kita sedang gelisah maka suhu badan kita naik. Buktinya apa? Misalnya kalau mau hujan pukul 07.00 pagi, badan saudara mengalami stress otak, stress mental! Tetapi kalau ujiannya berjalan dengan lancar meskipun pukul 14.00 siang dan udara Sangat panas, semua orang kipas-kipas; saudara lupas dengan badan saudara, asyik mengerjakan ujian, tidak berkeringat sedikit pun. Ini karena batin saudara mengalami ketenangan. Ini adalah sebuah bukti! Disinilah sebetulnya Buddhisme, cara mengendalikan dan mengolah batin kita supaya terbebas dari stress.

Lalu bagaimana cara mengatasi stress? Bagaimana cara mengendalikan piliran? Caranya sederhana. Saudara bisa menjalankan “sila”. Sila merupakan langkah awal yang paing sederhana karena hanya terdiri dari 5 (lima) sila yaitu melatih diri untuk tidak membunuh dan menganiaya, tidak mencuri, tidak melanggar kesusilaan, tidak berbohong, dan tidak mabuk-mabukkan. Kalau kita ingin mengembangkan latihan yang lebih dalam lagi, maka kita bisa melaksanakan 8 (delapan) sila atau athasila. Tentu kita akan bertanya: “bagaimanakah hubungan sila denganlogika itu?” untuk itu mari kita tinjau beberapa diantaranya:

Sila yang pertama adalah tidak melakukan pembunuhan dan penganiayaan. Misalnya saudara digigit nyamuk.
  • Secara ilmu pengetahuan, saudara akan berpikir bahwa gigitan nyamuk itu akan meninggalkan penyakit. Darah saudara diisap, ditukar dengan bibit penyakit si nyamuk sehingga bisa mendatangkan penyakit bahkan mungkin kematian. Karena itu adalah kesimpulan pendek, akhirnya saudara membunuh nyamuk itu. Itu adalah pengetahuan.  
  • Berbeda dengan Dhamma. Ajaran Sang Buddha berbeda dengan ilmu pengetahuan karena berdasarkan pada moral/batin kita. Perhitungannya tidak sama dengan ilmu pengetahuan walaupun keduanya memerlukan pembuktian. Kalau ilmu pengetahuan membuktikan bahwa masuknya penusuk Sang nyamuk ke dalam tubuh kita akan menularkan penyakit sehingga kita bisa sakit maka pembuktian Buddhisme adalah: “nyamuk menggigit… mengapa nyamuk menggigit saya? ini adalah suatu pertanyaan yang cukup penting. “O… karena nyamumk membutuhkan makanan. Mengapa membutuhkan makanan harus menggigit saya?” ini direnungkan terus. “O… karena nyamuk tidak bisa jajan, tidak bisa pergi ke warung sendiri untuk membeli makanan walaupun diberi uang. Kasihan! Kalau saya membutuhkan makanan masih bisa memilih; hari ini nasi goring, besok saya ingin makan pecel. Tetapi nyamuk tidak bisa. Hari ini makan darah, besok dan seterusnya tetap makan darah. Kalau begitu… saya masih lebih bahagia daripada nyamuk. Akhirnya apa? “ahh… biarlah, saya berdana saja.” Ini urusannya sudah lain disini Dhamma sudah berbicara. Tetapi kadang-kadang bisa muncul pemikiran: ”wah… kalau saya digigit nyamuk terus oleh nyamuk, saya akan terserang penyakit. Saya tidak mau ekstrim!” akhirnya bagaimana? “kalau saya membunuh nyamuk itu, berarti saya melanggar sila tetapi kalau tidak dibunuh, ilmu pengetahuan saya tidak bermanfaat.” Bagaimana caranya? Kita menggunakan jalan tengah; ilmu pengetahuan kita jalankan, Dhamma pun kita praktekkan; yaitu dengan cara mengusir nyamuk itu. Tidak dibunuh tetapi juga tidak dibiarkan. Ini adalah jalan tengah dan tidak ekstreme. 

Sila kedua adalah tidak mengambil barang yang tidak diberikan dengan sah. Misalnya saudara melihat sebuah pulpen.
  • Secara ilmu pengetahuan saudara akan berpikir: “wah… pulpen saya ketinggalan.  Di  atas  meja  ada  sebuah  pulpen,  kebetulan  saya  juga membutuhkannya.  “lalu  saudara  mengulurkan  tangan  untuk mengambil  pulpen  itu,  tetapi  saudara  kemudian  terpikir:  ”menurut hukum,  kalau  perbuatan  saya  ini  diketahui  oleh  orang  lain,  saya mungkin akan dipentungi orang. Alangkah ruginya kalau saya samapi dipentungi gara-gara pulpen seharga Rp 250,- wah… ini tidak baik!” akhirnya  saudara  tidak  jadi  mengambil  pulpen  itu,  untung-ruginya keluar. Ini adalah ilmu pengetahuan.
  • Sedangkan  perenungan  secara  Dhamma  adalah:  “saya  ingin mengambil  pulpen  yang  bukan  milik  saya.  Seandainya  ini  adalah pulpen saya lalu diambil orang, apa yang terjadi? Saya pasti jengkel. Kalau demikian, pemilik pulpen ini mungkin akan jengkel juga apabila pulpennya hilang.” Akhirnya saudara tidak jadi mengambilnya. Jadi perenungan  Buddhisme  tidak  sama  dengan  perenungan  ilmu pengetahuan.  Kalau  kita  tidak  mau  milik  kita  diambil  orang  lain, hendaknya kita juga jangan mengambil milik orang lain. Begitu juga dengan sila ke-5, yaitu tidak mabuk-mabukan.
  • Menurut ilmu pengetahuan, mabuk-mabukan itu dapat merusak otak dan  ginjal  karena  alcohol  dalam  kadar  yang  tinggi  tidak    dapat dicerna/diterima  oleh  alat  pencernaan  sehingga  lambat  laun  dapat mengakibatkan kematian. Ini adalah perenungan ilmu pengetahuan.
  • Sedangkan  perenungan  Buddhisme:”kalau  saya  minum-minuma keras  berarti  kesadaran  saya  akan  hilang.  Dengan  kehilangan kesadaran  berarti  konsentrasi  pun  ikut  terganggu,  sehingga  bisa muncul  tindakan-tindakan  yang  dapat  melanggar  sila-sila  yang  lain. Saya akan mudah marah bahkan mungkin berkelahi. Kalau begitu… saya  tidak  mau  minum-minuman  keras.”  Ini  adalah  perenungan Buddhisme.

Sila ke-6 adalah tidak makan setelah pukul 12:00 siang.
  • Secara  ilmu  pengetahuan  saudara  akan  berpikir:”kalau  saya  hanya makan sekali sehari berarti saya menjalankan sila plus penghematan. Biaya makan dapat saya gunakan untuk keperluan yang lain. Misalnya untuk  nonton,  jalan-jalan  dan  lain-lain.”  Ini  menurut  ilmu pengetahuan.
  • Berbeda  halnya  dengan  Dhamma.  Sebagai  umat  Buddha  yang meyakini Hukum kelahiran kembali, sebetulnya kita sudah mengalami kelahiran  berjuta-juta  kali.  Begitu  pula  halnya  dengan  kelaparan. Dengan  mengendalikan  keinginan  makan  yang  telah  muncul  sejak berjuta-juta  tahun  yang  telah  lampau;  secara  tidak  langsung  hal tersebut  merupakan  latihan  untuk  mengendalikan  emosi,  melatih kesabaran  dan  mempertajam  perenungan.  Kalau  kita  mampu mengendalikan  keinginan  (nafsu)  makan  yang  telah  muncul  sejak berjuta-juta  tahun  yang  lampau,  kita  bisa  menahan  diri  untuk  tidak marah.  Dengan  cara  itu  kita  bisa  menghadapi  segala  sesuatunya dengan tenang dan tidak emosi. Walaupun cara menahan makan ini merupakan suatu cara sederhana, tetapi cara ini ada kaitannya dengan melatih kesabaran. Ini adalah perenungan Buddhisme.
     
Demikian pula halnya dengan sila ke-7. Misalnya: tidak menggunakan wangi-wangian.
  • Secara  ilmu  pengetahuan,  tidak  menggunakan  wangi-wangian  itu mungkin hanya karena kita belajar hidup sederhana/belajar “ngirit”.
  • Tetapi secara Dhamma, sesungguhnya hal tersebut melatih kita untuk berusaha melihat kenyataan bagaimana keadaan kita seandainya tanpa semua  itu?  Karena  latihan  sila  itu  berarti  kita  belajar  seandainya barangnya ada(seperti wangi-wangian, perhiasan, dll.) tetapi kita tidak menggunakan, bagaimana perasaan kita? Sehingga apabila pada suatu ketika  betul-betul  tidak  ada,  kita  tetap  bisa  tenang.  Misalnya  suatu ketika saudara sedang ujian. Kalau saudara biasa memuaskan nafsu,
    apa saja yang diinginkan selalu saudara turuti maka apabila saat ujian, isi  pulpen  saudara  habis,  apa  yang  terjadi?  Saudara  bisa  ngomel-ngomel dan pulpennya dibanting sehingga semua peserta yang ada di ruang  ujian  bisa  geger  semua.  Tetapi  kalau  saudara  sudah  biasa mengendalikan  diri;  pulpen  saudara  habis  isinya  mungkin  cuma saudara pandang sebentar lalu dengan tenang saudara bisa meminjam pada  teman  saudara.  Seandainya  teman  saudara  itu  tidak  mau meminjam  pulpennya,  saudara  juga  tidak  akan  ngomel-ngomel. Mungkin  saudara  akan  meminjam  lagi  dari  teman  yang  lain.  Tetap tenang dan tidak marah-marah. 

Dengan melaksanakan sila akhirnya kita bisa menerima kenyataan bahwa apa  yang  kita  siapkan  dan  rencanakan  itu  tidak  selalu  berhasil,  kadang-kadang kita bisa mengalami kegagalan. Disini ilmu pengetahuan tidak bisamenjawab  yang  demikian  ilmu  pengetahuan  tidak  bisa  memberikan
ketenangan batin. Ilmu pengetahuan tidak bisa memberikan kebahagiaan sejati.  Ilmu  pengetahuan  hanya  bisa  memberikan  kebahagiaan semu/pembantu  kebahagiaan  saja.Seperti  kasus  kipas  angin  tersebut  di
atas; walaupun ada kipas angin tetap tidak akan mengatasi kepanasan itu sendiri,  hanya  memindahkan  sementara  saja.  Kalau  kipas  anginnya dihentikan, kita akan kepanasan lagi. Lain halnya dengan Dhamma yang memberikan rasa tenang dari dalam batin kita. Secara Dhamma kita akan berpikir:  “kenapa  harus  mengeluh  kepanasan?  Kenapa  kita  harus menambah  penderitaan  dengan  “stress”?  kalau  kita  sudah  bisa merenungkan demikian maka ketenangan yang muncul dari dalam batin kita akan mampu mengatasi rasa panas itu.

Inilah latihan-latihan yang perlu kita jalankan setiap hari sebagai umat Buddha. Kita harus berusaha untuk melatih sila; 5(lima) sila setiap hari dan 8(delapan) sila setiap hari uposatha, dengan tujuan supaya kita bisa  memperoleh  kebahagiaan  di  dalam  diri  kita.  Karena  ajaran  Sang Buddha  itu  adalah  untuk  memberikan  kebahagiaan  di  dalam  batin. Sedangkan  ilmu  pengetahuan,  saudara  hanya  memperoleh  kebahagiaan yang bersifat badaniah. Dengan ilmu pengetahuan yang saudara miliki dan dengan  agama  yang  saudara  hayati,  saudara  akan  memperoleh  jalan tengah. Contohnya seperti yang digigit nyamuk tersebut di atas. Saudara akan bisa melihat jalan tengah, tidak dibunuh tetapi juga tidak dibiarkan, melainkan dengan cara diusir.

Kalau  saudara  melatih  sila  setiap  saat,  maka  batin  saudara akan semakin  maju  dan  berkembang  dalam  ajaran  Sang  Buddha.  Akhirnya seperti  yang  dikatakan  oleh  Sang  Buddha  di  dalam  salah  satu  syairnya bahwa  hidup  1000  tahun  itu  tidak  ada  manfaatnya  kalau  kita  hanya bermalas-malasan saja, kalau kita tidak mau belajar Dhamma dan hanya mengembangkan keserakahan, kebencian dan kegelapan batin. Akan lebih bermanfaat  kalau  kita  hidup  walaupun  sehari  tetapi  dengan  giat mengembangkan  batin,  melatih  sila  dan  bermeditasi  hingga  tercapai kebijaksanaan. Itulah yang akan membuahkan kebahagiaan. Oleh karena itu,  marilah  kita  belajar  mengenal  batin  kita  dengan  melaksanakan  sila;
Pancasila  sebagai  dasar  dan  8  (delapan)  sila  untuk  pengembangan  yang lebih  lanjut  sehingga  akhirnya  kita  akan  memperoleh  kebahagiaan  lahir dan batin.

Sumber :  YM. Bhante Uttamo Mahathera, Hidup Sesuai Dhamma.

0 komentar:

PROFIL ADMIN

Profil Admin:

dharmavirya.blogspot.com
Motto : "Selalu Semangat, Belajar, dan Menjalankan Dhamma"

 Namo Buddhaya,. Namo Dharmaya,. Namo Sanghaya,. _/|\_

Salam sahabat,...
selamat datang di blog Dharma Virya.

Sebelum panjang x lebar x tinggi :) saya "admin" ingin menampakan diri untuk sahabat dimanapun,.

Nama       : Dharma Virya
TTL          : Tangerang, 07-08-90
Pekerjaan : Design di Star Property
Kegiatan   : Kuliah, Futsal, Lion & Liong Dance, dan Ngeblog.

Walaupun blog ini milik pribadi tapi blog ini bersifat universal. 
Di blog ini memiliki artikel-artikel Dhamma berdasarkan ceramah-ceramah, majalah buddhis, situs buddhis, dan e-book. Yang saya sajikan untuk sahabat, semoga sahabat dapat memahami makna dhamma.

Dhamma  artinya  kebenaran  nyata  yang  dibabarkan  Sang  Buddha,  yang berisikan petunjuk lengkap untuk mencapai kebahagiaan. Dhamma Sang Buddha  bukan  hanya  sesuai  untuk  para  bhikkhu, samanera,  maupun mereka  yang  tinggal  di  vihara  saja.  Dhamma  Sang  Buddha  juga  sangat bermanfaat untuk para perumah tangga yang tinggal dalam masyarakat luas.

Tak hanya berisikan religi semata, tapi juga saya sajikan special untuk sahabat. Tentang berbagai macam cerita, iptek, sains, pengetahuan alam, dan kejadian-kejadian di Dunia.
================================================================

Blog ini memiliki banyak kekurangan, maka dari itu saya ingin sahabat dimanupun memberikan kritik dan saran agar blog ini menjadi lebih baik,.

Jika sahabat memiliki cerita dalam bentuk word, pdf, dll. Sahabat boleh berbagi ke saya dan akan  diposting kedalam blog ini,. sedikit berdana, membahagiakan banyak orang itu luar biasa,.

kirimkan krtik & saran, dan cerita menarik sahabat ke E-Mail : dharmavirya@gmail.com
jangan lupa biodata yg lengkap,. ok sahabat,. :)

Selamat beraktifitas kawan-ku
sabbe satta bhavantu sukhitatta "Semoga semua makhluk berbahagia"