“Ubahlah nafsu menjadi cinta yang murni seperti mengubah metal menjadi emas murni.” (Master Zen Ikkyu)
Cinta antara pria dan wanita yang dianjurkan dalam agama Buddha bukanlah cinta yang berorientasi ke nafsu, meskipun tidak dipungkiri pula bahwa nafsu selalu mengiringi cinta antara lawan jenis. Cinta dalam agama Buddha sangat erat kaitannya dengan maitri (metta) yang sering didengungkan oleh umat Buddhis. Kasih saying maitri merupakan kasih yang tanpa batas, mutlak harus ada dalam kehidupan pasangan Buddhis, karena maitri merupakan bahtera dalam menjalani kehidupan cinta maupun pernikahan. Kasih Maitri juga merupakan kasih yang saling memberi. Nafsu duniawi dapat kita ubah menjadi welas asih yang murni apabila kita menjalaninya dengan segala kesadaran.
Maitri karuna ini lahir dari hati yang tanpa aku, tidak mementingkan diri sendiri. “Cinta kasih adalah Tathagata, Tathagata adalah cinta kasih”, demikian ungkap Sang Buddha dalam Mahaparinirvana Sutra. Cinta kasih adalah kekuatan yang terbesar dan terdahsyat di dunia ini.
Banyak orang mencari “soulmate”. Namun soulmate itu tidak dapat ditemukan di luar diri kita, tapi di dalam diri kita. Seseorang hendaknya mampu menerima kekurangan dan kelebihan dari lawan jenis yang ditemuinya. Seseorang seharusnyalah menerima pasangan sebagaimana adanya, sebagaimana ia harus menerima dirinya sendiri sebagaimana adanya. Kekurangan pasangan kita, kita terima dan tetap mencintainya. Menerima pasangan kita berarti kita sungguhsungguh mencintainya. Seseorang tidak akan mampu mengubah orang lain.
Seseorang hanya mampu mengubah diri sendiri agar mengerti dan menerima kekurangan maupun kelebihan orang lain. Banyak orang sibuk mengeluhkan kekurangan pasangan mereka dan berharap pasangan mereka berubah, ini adalah satu hal yang siasia. Perubahan ada dalam diri kita sendiri.
Ketika anda berkomitmen dan sungguhsungguh mencintai pasangan anda, mengundang sebuah kebenaran ke dalam hubungan anda, maka hubungan ini dapat menjadi cermin bagi diri kita sendiri. Cinta mampu membuat kita melihat ke dalam diri sendiri. Kita belajar untuk mencintai pasangan kita dengan sepenuh hati, meskipun banyak sekali kekecewaan, halangan, kekurangan yang diakibatkan dalam hubungan dengan pasangan kita, di situlah kita belajar, belajar untuk hidup dengan pengertian dan cinta kasih maitri karuna.
Ajaran Buddha meyakini hukum sebab akibat yang saling bergantungan. Apabila kita mampu mencintai diri kita sendiri, maka kedamaian batin akan menjadi milik kita. Kedamaian batin ini otomatis akan membawa kedamaian dan kebahagiaan pada hubungan dengan pasangan kita maupun dengan dunia. Mencintai pasangan kita, berarti juga mencintai diri kita sendiri. Mencintai diri sendiri berarti juga mencintai pasangan kita. Maka dari itu, Arya Nagarjuna menulis dalam Mahaprajnaparamita Upadesha, “Perasaan (cinta) di antara suami dan istri adalah satu, meskipun tubuh mereka berbeda namun mereka satu inti.” Komitmen dan mau mengerti, menjadikan sepasang kekasih menjadi satu inti.
Dengan demikian, ketika kita mencintai pasangan kita, maka kita juga menumbuhkan kedamaian dalam hati dan pikiran kita sendiri. Cinta kasih dapat menghalau kebencian, ia memberikan pada kita kekuatan, keindahan dan kebahagiaan dalam hidup ini.
Setiap hubungan percintaan juga harus ditransformasikan melalui Bochicitta yang berasal dari Empat Brahmavihara (maitri, karuna, mudita, upeksha), bagaikan keempat lengan Bodhisattva Avalokitesvara yang Maha Welas Asih. Bodhicitta merupakan welas asih yang tidak melekat, welas asih yang menerima dan memaafkan, cinta kasih yang tidak cemburu. Tidak melekat di sini bukan berarti bahwa kita tidak berkomitmen dalam kehidupan cinta kita. Namun yang dimaksud dengan tidak melekat adalah bahwa kita siap dan waspada terhadap segala perubahan yang terjadi (anitya). Jujur dan mau mendengar juga merupakan kunci berhasilnya suatu hubungan.
“Seorang istri adalah teman [pendamping] terbaik bagi seorang pria” (bhariya ti parama sakha), demikian ucap Sang Buddha dalam Samyutta Nikaya 1. 37. Dan dalam Samyutta Nikaya I
Seorang pasangan bukan hanya merupakan seorang kekasih saja, seorang pasangan jugalah harus dapat menjadi seorang teman, yang mampu menjadi tempat kita curhat, yang mau menerima kita apa adanya. Dengan demikian seperti kata seorang Mahasiddha Tibetan, “Kebahagiaan seorang wanita adalah kekasihnya.” Wanita atau pria yang mampu bertindak sebagai teman maupun kekasih, ia mampu memberikan kebahagiaan bagi pasangannya. Seperti dalam Sigalovada Sutta, teman yang baik adalah mereka yang penolong, bersama - sama kita di waktu senang maupun susah, yan memberi nasihat pada kita, yang bersimpati pada kita.
Seorang pria / wanita haruslah mampu memahami perasaan pasangannya. Apabila mereka saling mencintai, mereka bagaikan satu tubuh. Perasaan yang dialami pasangannya akan juga dirasakan olehnya. Seperti Sang Bodhisatta yang berkata pada kekasihnya, Kinnari Canda: "Air mataku jatuh seperti hujan pada danau di kaki gunung, Tetapi karena penderitaanmu, Canda, hatiku berduka."
Kitab Jatakamala juga menceritakan keeratan hubungan sepasang suami istri. Alkisah pada saat tersebut: Ratu Madri berkata pada suaminya Bodhisattva Vishvantara: “Ke mana engkau akan pergi, aku harus ikut, suamiku. Bersamamu, bahkan kematian akan menjadi kegembiraan bagiku, hidup tanpamu tak mungkin dapat kujalani.” Lalu Bodhisattva pergi bersama istri dan anakanaknya, bersamasama menjalankan praktik Dharma di tengah hutan yang indah…. Sakra raja para Dewa menyamar menjadi seorang Brahmana meminta sang istri dari tangan Bodhisattva. Bodhisattva yang teguh dalam ketidak terikatan memberikan Madri kepadanya.
Madri yang walaupun menderita, tetap tidak menangis karena memahami sifat suaminya. Sakra yang tersentuh oleh kejadian tersebut, berteriak: “Untuk menghargai cinta kasih seorang istri dan anak-anak, memberikan mereka demi ikrar tiada keterikatan, mungkinkah bahkan sekedar memahami kemuliaan yang seperti ini?” “Sekarang aku mengembalikan Madri, istrimu kepadamu. Di mana lagi cahaya bulan harus berdiam jika bukan di bulan?” (Vishvantara Jataka)
Suami istri yang saling mencintai adalah bagaikan cahaya bintang dengan bintangnya, bagaikan cahaya matahari dengan mataharinya. Mereka saling mencintai dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena hidup mereka telah menjadi satu.
Pemuka agama tinggi aliran Gelug, Dalai Lama ke6, bukanlah seorang bhiksu. Pada tahun ia melepaskan jubah kebhiksuannya. Ia mengundang para kaum muda ke Lhasa untuk berpesta, di sana ia bertemu dengan seorang gadis bernama Dawa Zhuoma. Ketika mereka berpacaran, Tsangyang Gyatso menyanyikan lagulagu cinta padanya:
“Jika hanya aku dapat menikahi seseorang yang aku cintai. Kegembiraan mendapatkan permata yang telah terpilih dari dasar samudra yang terdalam, akan aku peroleh.” Senyuman manismu bertujuan untuk mencuri hati mudaku. Jika cintamu padaku adalah sungguh - sungguh, maka berjanjilah padaku dari hatimu yang terdalam.” (Tsangyang Gyatso, Dalai Lama ke-6)
0 komentar:
Posting Komentar